Mengenal RUU Polri serta Pasal-pasal yang Bisa Memantik Kontroversi
![]() |
(Foto oleh Poetra RH dari iStockphoto) |
Menurut informasi dari koranpagi.id, RUU Polri, atau Rancangan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. RUU ini telah menjadi perbincangan hangat di media sosial.
Secara umum, polri memiliki tugas pokok untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, revisi RUU ini dikhawatirkan akan menggeser fokus dari tugas pokok ini dan lebih memperkuat kewenangan tanpa peningkatan akuntabilitas.
Mengapa masyarakat menolak RUU Polri?
Masyarakat Indonesia saat ini menolak RUU Polri karena beberapa alasan yang kompleks dan beragam. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang beberapa faktor utama yang menyebabkan penolakan meliputi:
1. Perluasan kewenangan polri
RUU Polri memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Polri, termasuk pengamanan dan pengawasan di ruang siber, serta kewenangan intelijen yang lebih besar. Hal ini dikhawatirkan akan membuat Polri menjadi "lembaga superbody" tanpa pengawasan yang memadai. Masyarakat khawatir bahwa dengan kewenangan yang lebih besar, Polri akan semakin sulit diawasi dan dikontrol, sehingga potensi penyalahgunaan wewenang akan meningkat.
2. Lemahnya pengawasan publik
RUU ini tidak menambahkan mekanisme pengawasan yang efektif terhadap kewenangan Polri. Hal ini dikhawatirkan akan memperburuk catatan hak asasi manusia dan kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian. Masyarakat membutuhkan sistem pengawasan yang kuat untuk memastikan bahwa Polri bertindak sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. Tanpa pengawasan yang memadai, masyarakat khawatir bahwa Polri akan bertindak semena-mena tanpa konsekuensi.
3. Ancaman terhadap kebebasan berpendapat
Kewenangan Polri di ruang siber dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dengan kemampuan untuk memantau dan mengawasi aktivitas online, Polri dapat menekan kritik dan oposisi, serta mengancam privasi warga negara. Masyarakat khawatir bahwa ini akan membawa dampak negatif pada demokrasi dan kebebasan sipil, karena warga negara akan merasa takut untuk menyampaikan pendapat mereka secara bebas.
4. Kinerja polri yang buruk
Masyarakat khawatir bahwa perluasan kewenangan tanpa perbaikan kinerja akan memperparah pelanggaran HAM dan praktik korupsi yang telah terjadi sebelumnya. Polri telah menghadapi berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi, dan masyarakat merasa bahwa perluasan kewenangan tanpa reformasi internal yang signifikan hanya akan memperburuk situasi.
5. Kurangnya partisipasi masyarakat sipil
Proses revisi UU Polri dinilai tidak melibatkan masyarakat sipil secara memadai, sehingga tidak mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Masyarakat merasa bahwa RUU ini dibuat tanpa memperhatikan suara dan kebutuhan mereka, sehingga mereka merasa tidak terwakili dalam proses pembuatan kebijakan.
6. Kekhawatiran tentang penyalahgunaan wewenang
Masyarakat khawatir bahwa perluasan kewenangan Polri akan digunakan untuk menekan lawan politik atau kelompok-kelompok yang tidak disukai oleh pemerintah. Hal ini dapat membawa dampak negatif pada stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia.
Apa saja pasal-pasal yang bisa memantik kontroversi dalam RUU Polri?
![]() |
(Foto oleh Lutfi Hanafi dari iStockphoto) |
Ada beberapa pasal dalam rancangan undang-undang polri yang memiliki kontroversi hingga internasional. Berikut adalah beberapa pasal dalam RUU Polri yang bisa memantik kontroversi meliputi:
Pasal 16 Ayat 1 Huruf q
- Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan perlambatan akses ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri. Hal ini dikhawatirkan akan mengurangi kebebasan berpendapat publik dan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Pasal 16A dan 16B
- Pasal 16A memberikan kewenangan kepada Intelkam Polri untuk melakukan pengawasan intelijen, yang berpotensi membuat Polri meminta data intelijen dari lembaga lain tanpa batasan yang jelas.
- Pasal 16B menggunakan istilah "kepentingan nasional" yang dianggap tidak jelas, sehingga bisa digunakan untuk membenarkan pengawasan terhadap warga negara tanpa batasan yang ketat.
Pasal 14 Ayat 1 Huruf g dan o
- Huruf g menyebutkan bahwa Polri bertugas mengoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk pengamanan swakarsa. Hal ini berpotensi menjadikan Polri sebagai "investigator superbody" dengan kewenangan yang terlalu luas.
- Huruf o memberikan diskresi besar kepada polisi untuk melakukan penyadapan tanpa persetujuan lembaga pengawas, berbeda dengan KPK yang harus mendapat izin Dewan Pengawas.
Pasal 30 Ayat 2
- Pasal ini terkait dengan usia pensiun maksimum anggota Polri, yang juga menjadi sorotan karena dianggap memperpanjang masa jabatan tanpa perbaikan kinerja yang signifikan.
Pasal-pasal ini menuai kontroversi karena dianggap memberikan kewenangan yang berlebihan kepada Polri tanpa peningkatan akuntabilitas yang memadai, sehingga berpotensi mengancam demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Kesimpulan
RUU Polri adalah rancangan undang-undang yang menuai kritik karena memberikan kewenangan yang berlebihan kepada Polri tanpa peningkatan akuntabilitas yang memadai.RUU Polri memberikan kewenangan kepada Polri untuk mengawasi dan mengontrol ruang siber, yang dikhawatirkan akan membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam keseluruhan, RUU Polri dianggap gagal memperbaiki masalah yang ada di institusi Polri dan justru memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang.